Rabu, 23 September 2009

Zikir Tarekat Naqsybandi




Di antara para pembaca tulisan ini mungkin ada beberapa orang yang telah mengamalkan salah satu dari 40 tarekat sufi selain Naqsybandi. Sehingga wajar bila ada pertanyaan perihal perbedaan yang ada antara Naqsybandi dan tarekat sufi lainnya.

Pada prinsipnya seluruh tarekat sufi bermuara ke Hadirat Ilahi Rabbi. Rasulullah ? bersabda, Jalan menuju Allah ??teramat banyak, yakni sebanyak jumlah tarikan napas manusia. [tak hingga]. Perbedaan terletak pada metode dan sikap dalam merefleksikan kebutuhan pengakomodasian keanekaragaman para murid. Perbedaan juga bersumber dari karakter individual yang unik dari tiap orang yang mengajarkan tarekat sufi tersebut (mursyidiin)semoga Allah ??senantiasa merahmati mereka semua.

Dalam hal pendekatan juga ada beberapa perbedaan. Yang paling fundamental adalah sebagian besar tarekat sufi mengajarkan calon pengikutnya untuk membuka mata hatinya secara bertahap melalui zikir, mengingat Allah ?. Latihan spiritual ini juga dapat dilakukan dengan menyebut secara berulang Asma Allah ??yang berlainan dan memiliki fadhilah tertentu. Bentuk lainnya adalah dengan menyebutkan beberapa kalimah suci dalam jumlah ribuan, bahkan kadang disertai dengan praktek pernafasan dan gerakan fisik tertentu. Sudah pasti melalui latihan yang syarat dedikasi dan ketabahan, para calon pengikut (muhiibin) akan mencapai tahap spiritual dan maqam tertentu yang belum terbayangkan sebelumnya dalam kesadaran normal. Mereka juga dapat merasakan dirinya terbang menuju tujuannya, yaitu Atribut Ilahiah dengan penyaksian keajaiban dari aspek kehidupan yang tersembunyi dan penuh misteri (gaib).

Jika mata kalbu telah terbuka lalu anda terpikat karena takjub dengan apa yang telah disaksikan, waspadalah! Tetapi jika Anda menggunakan Tarekat Naqsybandi, hal-hal gemerlapan itu akan diikat dan digantikan dengan selimut pelampik kesederhanaan. Perbedaan utama antara para Mursyid Naqsybandi dengan yang lain adalah, mereka memberi sedangkan kami mengambil. Segalanya harus berjalan, bahkan kehadiran Anda yang terpisah. Pada awalnya Anda akan dilucuti sampai tidak memiliki apapun dan selanjutnya menjadi tiada. Hanya mereka yang telah siap menjalani langkah seperti itulah yang layak menjadi murid Naqsybandi. Manakala setetes air surgawi menetes dari langit, mungkin itu akan tetap disebut tetesan, tetapi ketika jatuh ke dalam samudra, itu bukan lagi tetesan, melainkan telah menjadi bagian dari samudra.

Jika seseorang tertarik dengan maqam dan kekuatan spiritual (karamah), dia dapat mencapainya dengan mengikuti salah satu dari 40 jalan sufi, dan cara ini dirasakan cukup manjur. Melalui pengucapan Asma ul-Husna seseorang akan mendapatkan kekuatan spiritual dalam jumlah yang melimpah, sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian pada akhirnya seorang pencari yang tulus akan menemui penyesalan yang dalam jika dia terikat dengan obsesi maqam (posisi) dan kedudukan. Suatu hari dia akan merasakan bagaimana dia telah menjadi korban dari tindakannya sendiri, dan menyatakan, Yaa Allah ??telah sedemikiannya aku menyia-nyiakan diri dan upaya untuk hal lain selain-Mu

Jika hidupnya berakhir dalam keadaan tersebut dia akan menyesal bahwa mereka telah mengalihkan dirinya dari ridha Allah ??semata. Oleh sebab itu Mursyid telah diperintahkan untuk mengosongkan para pengikutnya dari perhiasan spiritual, sehingga mereka akan tiba di Hadirat Ilahi Rabbi dengan format kerendahan hati (adab dan tawadhu) yang sempurna. Lalu Guru Mursyid berdialog, si Fulan adalah pelayanmu, Yaa Rabbi, terimalah dia. Selama ini dia tersesat dalam egonya dan saat ini hadir hanya untuk-Mu. Inilah yang menjadi prioritas utama dan untuk menolong para pengikutnya mencapai niyyah* tersebut. Hal ini adalah tugas sang Mursyid.

* [penjelasan Imam Khwaja Muhammad Bahauddin Naqsyband ? tentang makna niyyah: huruf Nun merepresentasikan Nur = cahaya Allah ?, huruf Ya merepresentasikan Yad Allah = tangan / pertolongan Allah ?, sedangkan huruf Ha merepresentasikan Hidayyah = pencerahan]

Dapat dipahami oleh seluruh tarekat bahwa pengalaman yang aneh dan memesona hanya merupakan proses perjalanan, bukan tujuan sesungguhnya. Tujuan hakiki adalah mencapai Hadirat Ilahi dengan daya tarik Dia Yang Tercinta. Rasulullah ? adalah pembimbing dan pemberi contoh. Dalam mukjizat Perjalanan Malamnya, di mana beliau ? ditemani oleh malaikat Jibril ??berangkat dari Mekkah ke Jerusalem lalu naik ke langit ketujuh menghadap Hadirat Ilahi, Rasulullah ? menyaksikan seluruh alam semesta. Allah ? di dalam al-Quran dengan jelas menerangkan bahwa Rasulullah ? mempunyai pandangan yang tidak berbelok maupun ragu. (QS 53:2). Dengan kata lain, beliau ? melihat dan menyaksikannya tetapi tidak pernah membiarkan semua itu mengganggunya dari perjalanan menuju tujuan utamanya yang Maha Agung. Rasulullah ? dapat menyaksikan pemandangan tersebut tanpa terganggu sebab hatinya semata untuk Allah ?. Beliau ? adalah sebaik-baik makhluk-Nya, sebaik-baik kekasih-Nya. Namun kita, kita ini sangat rapuh dan belum memiliki niat yang kuat. Pengalaman dan kemampuan seperti itu dapat sejalan dengan keinginan ego kita, namun peleburan (fanaa) ke Zat Allah ??melalui bimbingan Murysid selanjutnya diteruskan kepada Rasulullah ? tidak akan pernah menjadi hal yang menarik bagi si ego.

Oleh sebab itu untuk memberikan antisipasi yang maksimum, para guru Naqsybandi memberikan pendekatan yang berbeda dalam membuka mata kalbu para muridnya. Terdapat 70.000 penghalang (hijab) antara kita dengan maqam Rasulullah ?. Guru-guru Naqsybandi membuka tabir ini dalam urutan menurun diawali dari yang terdekat dari Hadirat Ilahi yang selanjutnya secara berturut-turut menuju tingkatan para murid. Proses ini berlangsung secara kontinu melalui latihan (riyadhah) yang ditempuh oleh para murid sampai tertinggal selembar hijab lagi, yaitu hijab insani yang menahan sensitivitas murid untuk merenungkan Realitas Ilahi (Haqq). Hal tersebut dilakukan semata-mata guna melindungi murid dari daya tarik kepada selain Allah ?. Namun demikian akhirnya penghalang tersebut dilepas juga setelah murid mencapai keadaan kesempurnaan yang tertinggi (ihsan), selambat-lambatnya yaitu ketika 7 (tujuh) buangan napas terakhir menjelang kematian (sakratul maut).

Jika hijab dipindahkan dari bawah ke atas melalui proses riyadhah rohaniah, murid dapat menyaksikan serangkaian panorama baru (takjub). Ini bisa menghalanginya dari kemajuan. Siapapun yang mendapat maqam demikian selama hidupnya dia akan menganggap dirinya sangat kuat dan terkenal di bandingkan orang lain. Hal ini yang berbahaya. Kekuatan dan ketenaran adalah kondisi yang kondusif bagi kekuasaan dunia. Ego tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk berbagi dalam suka dan kekaguman, dengan demikian seluruh proses dan usaha spiritual yang telah dilakukan akan tercemar. Seorang calon sufi semestinya mencari Allah ?, bukan ketenaran. Lihatlah sejarah wanita suci, Siti Maryam yang suatu ketika berdoa, Aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan (QS 19:23). Dia telah mengajarkan seluruh umat manusia untuk tidak menonjolkan diri dalam pandangan duniawi, dan tidak mencari ketenaran sesaat. Karena sebenarnya obsesi untuk menggenggam kekuatan dan ketenaran bahkan dapat menjadi suatu beban rohaniah yang berat (pseudo-sufisme). Sufi yang sesungguhnya lebih memilih tenggelam dalam Samudra Kesatuan dengan Allah ? (madjhuub).

Mursyid Sufi Naqsybandi berkata bahwa siapa yang menjalani rangkaian kehidupan sesuai aturan Ilahiah yang telah tersusun dan bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah Allah ??tetapkan untuk dirinya, maka yang bersangkutan akan mencapai maqam yang tinggi yaitu posisi terdekat baginya dengan Allah ??Yang Maha Kuat dan Maha Agung di Hari Kemudian. Deskripsi ini ditujukan untuk memperbaiki sifat dari elemen dasar setiap manusia, yaitu: ego, kekuasaan dunia, hasrat yang menggebu-gebu, dan intervensi setan. Seseorang yang mengatur dirinya untuk melaksanakan ajaran dalam Tarekat Naqsybandi akan mendapatkan cahaya Mursyidnya, yang akan mengangkatnya kepada junjungan guru tertinggi, Rasulullah ? yang pada gilirannya beliau ? berkenan mengangkatnya kepada maqam Penyatuan dengan Allah ?.

Allah ??telah mengajari Rasullullah ? perilaku yang sempurna, sebagaimana Rasulullah ? bersabda, Allah ??mengajariku perilaku (adab) yang tinggi dan menyempurnakan ajaran-Nya. Adab terbaik adalah menjaga perintah Allah ?, dan si fulan sang pencari harus mengikuti teladan yang diberikan oleh Rasulullah ? dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah ??dan menjalani Jalan Spiritualnya. Seseorang musti menjalankannya secara kontinu sampai mencapai ilmu Hukum Allah ? (syari’at) dan Jalan (tarekat).

Para pemula harus memulainya dari awal. Dia harus mengenal perbedaan antara Hukum Allah ??dengan Jalan. Hukum Allah ? (syari’at) adalah suatu realitas yang wajib bagi umat Islam laki-laki dan perempuan. Konkretnya, Hukum Allah ? berisi perintah dan larangan-Nya. Orang yang beriman wajib menyandarkan dirinya pada suatu pedoman agar jelas baginya mana yang harus dibuang serta mana yang harus diikuti. Al-Quran dan Sunnah Nabi ? adalah dasar bagi seluruh pedoman. Sekolah mengenai Hukum Allah ?, karya tulis murid-muridnya, dan para penerus guru yang masih hidup meneruskan dan menjelaskan pedoman tersebut. Siapa pun yang tetap menjaga bimbingan ini akan berada pada Jalan yang Lurus. Insya Allah.

Jalan (Thariq) adalah sasaran utama dari Hukum Allah. Jalan (Thariq) mustahil terletak di luar Hukum Allah ?, karena merupakan suatu tekad dan upaya untuk mengikuti sunnah Rasulullah ? selengkapnya dalam berbagai aspek; baik eksternal maupun internal, tersingkap (zhahiriah) atau tersembunyi (bathin), untuk umum atau yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja baik secara fisik ataupun spiritual. Untuk mengikuti Jalan ini, murid harus menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada seorang Mursyid agar dapat memahami dan mengaplikasikan apa yang diberikan dalam al-Quran dan Sunnah secara benar. Murid menempatkan tangannya (loyalitas) di atas tangan seorang Guru (Mursyid) yang telah diberi otorisasi (ijazah) dan melaksanakan petunjuk Ilahiah dan Rasul ? yang dikatakannya (bay’at). Muhiibin / Muriidin yang telah memberikan bayat-nya tersebut patut istiqamah dalam menerima petunjuk Mursyid-nya, sebagaimana Rasulullah ? selalu menanti kehadiran malaikat Jibril ??untuk menerima wahyu Ilahi. Dengan tekad yang serupa murid mematuhi perintah Mursyid, dan juga harus memiliki kemampuan mengantisipasi, artinya dia harus secara kontinu menunggu perintah dari pembimbingnya. Dia harus memiliki intuisi seperti pemburu terhadap mangsanya, dengan menjadi waspada terhadap segala arah. Pengelihatan, pendengaran, kehadiran dan pikirannya harus selalu siap menerima perintah, dan harus bisa menerima dan melaksanakan beberapa perintah yang baru. Orang seperti itu akan menjadi seorang yang sesuai dengan Tarekat Naqsybandi dan manifestasinya akan terlihat jelas padanya (Ahlul Thariqah).

Murid patut menjaga zikir hariannya dan mematuhi perintah Mursyidnya tanpa berbelok ke kiri atau ke kanan. Guru Mursyid kita semua, Syaikh `Abd Allah Faiz ad-Daghestani an-Naqsybandi ? (wafat di Jabal Qasiyyun, Damaskus 4 Ramadhan 1973), berkata, Subhanallah, lisanku adalah lisan dari rahasia Hukum Allah ??dan al-Quran, lalu beliau mengajukan sebuah pertanyaan yang berbunyi, Siapa yang menjadi pembawa dan pelindung al-Quran? dan jawabnya sendiri, Para pembawa dan pelindung al-Quran adalah para hamba-Nya yang berhasil mencapai maqam yang tinggi dan mengetahui karunia Allah ? tersebut dengan pemahaman yang benar. Dan apakah tidak benar, wahai anak-anakku, bahwa saya harus menunjukkan pada kalian bila kalian harus mengikuti jejak ini agar kalian juga dapat menemukan maqamah tadi.

Syaikh `Abd Allah Faiz ad-Daghestani ? melanjutkan, Siapapun yang menerima kunci untuk lima posisi maqam dalam dirinya, yaitu: hati (qalbu), rahasia (sirr), rahasia dari rahasia (sirr as-sirr), yang tersembunyi (khafaa) dan yang paling tersembunyi (akhfa) adalah orang yang memelihara personalitasnya dengan benar serta melakukan upaya pengembangan spiritual dalam tatacara yang semestinya. Hal ini akan membuatnya mampu mencapai maqam Sultan al-Arifin Abu Yazid at-Tayfur al-Bistami ? - kekasih Allah ? - Mursyid ke-6 dari Rantaian Silsilah Mulia Tarekat Naqsybandi, di mana beliau berkata, Aku pun adalah Kebenaran (ana al-Haqq). Siapapun yang berhasrat untuk memasuki maqam dari dua Sifat Sang Kebenaran, yaitu Maha Perkasa dan Maha Tinggi, Sifat Kecantikan dan Kemuliaan; selayaknya mengikuti Jalan Allah ?, Tarekat).

Tidak ada komentar: